Rabu, 22 Oktober 2014

KISAH SEORANG PENEMU DINAMIT, ALFRED NOBEL

Nama Nobel selalu dikaitkan dengan penghargaan kemanusiaan. Tak banyak yang tahu beragam sisi hidup si penggagas, yang juga seorang penemu dinamit, penyair yang penyendiri, dan inventor jenius.
Swedia, 21 Oktober 1833, lahirlah seorang bayi laki-laki yang dinamai Alfred, putra keempat dari Immanuel Nobel, penemu dan insinyur sukses yang membangun jembatan dan gedung. Dari pihak ayah, Alfred masih keturunan Olof Rudbeck, ilmuwan terkenal dari abad 17 yang membantu Swedia berkembang pesat.
Ironisnya, meski sang ibu, Andriette Ahlsell, berasal dari keluarga kaya, pada tahun ketika Alfred lahir, ayahnya mengalami kebangkrutan. Perusahaannya ditutup dan ia terpaksa mencari peruntungan di negeri lain, yaitu Finlandia. Andriette sendiri tetap di Swedia untuk mengasuh putra-putranya sambil membuka toko kelontong.
Pada 1842, kondisi keuangan keluarga Nobel kembali stabil, dan mereka semua hijrah ke St. Petersburg, Rusia, dimana Immanuel bekerja sebagai pembuat senjata. Putra-putra Nobel mendapat pendidikan berkualitas tinggi, dan mereka semua tumbuh dengan kecintaan terhadap sains.

Momen Penting Dalam Kehidupan Alfred Nobel
Salah satu momen penting dalam hidup Alfred adalah perkenalannya dengan cairan berdaya ledak hebat bernama nitrogliserin, yang terjadi saat ia menempuh studi teknik kimia di Paris dan dimentori T.J Pelouze, profesor kimia tersohor.
Alfred jatuh cinta pada nitrogliserin ini. Sekembalinya ke Rusia, ia dan ayahnya bahu-membahu mengembangkan zat liar tersebut menjadi bahan peledak komersial. Percobaan mereka terinterupsi oleh kebangkrutan kedua yang dialami oleh Immanuel. Keluarga Nobel harus pulang ke Swedia. Meski begitu, obsesi Alfred akan nitrogliserin tak berubah.
Suatu hari, pada 1863, tragedi terjadi di laboratorium Alfred, tempat ia melakukan serangkaian percobaan intensif untuk mengembangkan nitrogliserin. Laboratorium tersebut meledak dan menggegerkan kota Swedia. Beberapa orang terbunuh, termasuk adik bungsu Alfred, Emil.
Namun, Alfred tidak trauma. Karena dilarang melakukan eksperimen di dalam kota, ia memindahkan laboratoriumnya ke Danau Malaren. Tak lama kemudian, ia berhasil memproduksi nitrogliserin secara massal. Belajar dari tragedi yang menewaskan sang adik, Alfred terus mengembangkan produknya agar lebih aman digunakan. Ia mencampur cairan nitrogliserin yang mematikan dengan pasir kualitas tinggi, sehingga bentuknya mirip pasta gigi yang kemudian ia kemas sedemikian rupa. Alfred Nobel pun resmi menjadi penemu dinamit.
Kariernya menanjak sejak itu. Alfred memperoleh hak paten atas dinamit, yang laris manis dipakai di tambang berlian. Ia dianggap berjasa mengurangi biaya produksi industri pertambangan karena dinamit begitu efektif untuk eksplorasi bahan tambang. Pabrik-pabrik dinamit Alfred menjamur hingga 90 buah di lebih dari 20 negara. Alfred sendiri memilih untuk berbasis di Paris meski ia kerap berpindah-pindah ke berbagai negara, seperti Jerman, Skotlandia, dan Italia. “Rumah adalah tempat saya bekerja, dan saya bekerja dimana-mana,” ujarnya suatu kali.
Selain menciptakan dinamit, otak jenius Alfred terus berinovasi dan ia sukses mengembangkan 355 produk hak paten, dari karet sintetis sampai sutra buatan. Di usia 40, sang ilmuwan yang ahli bicara lima bahasa ini telah mencapai hidup mapan.
Sukses, kaya raya, dan punya kuasa membuat Alfred digelari pengembara paling kaya se-eropa. Sebagai pengembara ia memilih untuk hidup menyendiri dengan tidak menikah dan berkeluarga. Namun, ia memiliki sejumlah teman kepercayaan, yakni Ragnar Sohlman, rekan kerjanya di laboratorium, dan seorang sahabat wanita bernama Bertha von Suttner.
Bertha pernah menjadi sekretaris Alfred, meski hanya sebentar karena wanita itu harus kembali ke kampung halamannya di Austria dan menikah. Persahabatan Bertha dan Alfred terus berlanjut melalui korespondensi. Bertha bukan wanita biasa, ia memiliki kecerdasan tinggi dan pemikiran kritis. Setelah menikah, ia gencar berkarier sebagai aktivis gerakan perdamaian, dan banyak orang menganggap Bertha adalah penyebab Alfred memasukkan kategori Nobel Perdamaian dalam penghargaan yang kelak digagasnya.
Pada 1891, Alfred harus terusir dari Paris yang telah menjadi rumahnya selama 20 tahun. Ketika itu, ia telah menciptakan ballistite, bahan peledak superior tanpa asap yang ia rancang untuk industri pertambangan. Penemuan ini terjadi bersamaan dengan adu canggih peralatan militer antara negara-negara Eropa yang hubungannya sedang tidak stabil. Ballistite jelas menjadi bahan baku ideal untuk keperluan militer.
Alfred menawarkan ballistite pada pemerintah Perancis, namun ditolak. Sebagai pebisnis sejati, ia menawarkan produknya ke pemerintah Italia, yang langsung membelinya. Transaksi bisnis ini menjadi bencana karena media Perancis menuduh Alfred sebagai mata-mata dan citranya jatuh. Dari larangan bereksperimen sampai kurungan penjara, akhirnya Alfred tersudut dan tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota yang ia cintai.
Di Paris, Alfred telah memiliki sebuah rmah megah lengkap dengan istal kuda, perpustakaan, dan rumah anggrek. Ia juga dikenal dalam lingkaran pergaulan kelas atas Paris. Tak heran jika Alfred begitu terpukul dengan peristiwa ini. Ia pindah ke sebuah villa yang tenang di San Remo, Italia, sambil membawa sejumlah souvenir pribadi antara lain lukisan wajah sang ibu, yang ketika itu telah tiada. Ia tidak diperbolehkan membawa laboratoriumnya oleh pemerintah Perancis.
San Remo yang damai menjadi tempat Alfred berteduh dari berbagai kontroversi yang menimpa dirinya. Kepindahan ini juga baik bagi kesehatannya yang sempat dirongrong influenza selama di Paris.
Namun, sekali ilmuwan tetap ilmuwan. Di dekat vilanya, Alfred mendirikan laboratorium tempat ia menenggelamkan diri dalam dunia sains yang ia cintai, sampai maut menjemputnya pada 10 Desember 1896, di saat Alfred berusia 63 tahun. Ia meninggal dengan tenang tanpa menyadari bahwa surat wasiatnya akan menimbulkan gonjang ganjing.

Surat Wasiat Alfred Nobel
Alfred mengubah surat wasiatnya pada 27 November 1895, setahun sebelum ia meninggal dunia. Konon katanya, perubahan terakhir tersebut dipicu oleh sebuah obituari yang diterbitkan sebuah surat kabar Perancis pada 1888. Surat kabar tersebut secara keliru menulis obituari tentang Alfred, padahal ketika itu,yang meninggal dunia adalah kakak Alfred, Ludwig Nobel.
Membaca obituari tersebut membuat Alfred merenung tentang bagaimana ia ingin dikenang oleh dunia. Karena itu, ia memutuskan untuk mengubah isi surat wasiatnya.
Di dalam wasiat tersebut, Alfred menegaskan bahwa seluruh hartanya harus diinvestasikan dalam bentuk saham dan dipakai untuk mendirikan sebuah yayasan, yang labanya setiap tahun dibagikan dalam bentuk penghargaan bagi orang-orang yang dinilai berjasa besar bagi kemanusiaan.
Banyak yang terkejut mengetahui isi wasiat surat tersebut, termasuk keluarga Alfred yang masih tersisa. Kontroversi dan pro kontra pun terus bergulir, hingga akhirnya penghargaan Nobel pertama baru bisa dilaksanakan lima tahun kemudian, yaitu pada 1901. Sejak itu, lebih dari 550 penghargaan Nobel telah diberikan kepada tokoh-tokoh besar yang dianggap berjasa bagi dunia dalam bidangnya masing-masing, dari kimia, fisika, perdamaian, kedokteran, sastra, hingga ekonomi.

  • Ahli fisika Lawrence Bragg adalah penerima Nobel termuda pada usia 25 tahun, sedangkan ekonom Leonid Hurwicz menjadi penerima Nobel tertua pada usia 90.
  • Sastrawan Jean Paul Sartre dan aktivis perdamaian Vietnam Le Duc Tho adalah dua orang yang pernah menolak Penghargaan Nobel. Sartre menolak karena ia berkomitmen menolak semua penghargaan resmi, sedangkan alasan Tho adalah situasi Vietnam yang tidak stabil.
  • Marie Curie dan segenap keluarga besarnya merupakan keluarga penerima Nobel terbanyak.
  • Tiga orang yang sedang berada dalam tahanan ketika mendapatkan Nobel adalah Carl Von Ossietzky, Aung San Suu Kyi, dan Liu Xiaobo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar